Selasa, 04 Oktober 2011
SEJARAH SIAU
Minggu, 02 Oktober 2011
Raja Jakob Ponto
KERAJAAN SIAU adalah salah satu kerajaan nusantara yang pernah eksis selama lebih 4 abad, yaitu sejak pembentukannya di tahun 1510. Masa akhirnya dapat diajukan pada tahun 1956, yaitu setelah penguasa kerajaan ke-25, yaitu Presiden Pengganti Raja Siau Ch. David, mangkat.
Pusat kerajaan ini terletak di Pulau Siau (02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT) yang kini di wilayah Kabupaten Sitaro. Tepatnya merupakan salah satu kabupaten di perbatasan Utara Indonesia di Laut Sulawesi ke wilayah laut Filipina. Pulau ini hanya berukuran luas tak lebih 100 Km2.
Namun dalam kiprahnya kerajaan ini pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, Pulau Kabaruan (Talaud), Pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan berekspansi armada lautnya sampai ke Leok Buol. Kerajaan ini dalam berbagai catatan Belanda dan sejarahwan lokal di Manado, H.M. Taulu, pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao.
Meskipun wilayahnya kecil dan tidak dikenal banyak orang Indonesia tetapi kerajaan ini pernah memegang peran di bagian Utara dan Timur Indonesia. Hubert Jacobs, S.J. yang terkenal dengan rangkuman serial sejarah wilayah Indonesia Timur Documenta Maluciensis, pernah juga membahas kerajaan ini. Jacobs memulai tulisannya dengan uraian mengutip perkataan seorang filsuf, ‘’kadang-kadang barang terkecil merupakan yang paling sulit direngkuh’’. Begitu analogi Jacobs atas kerajaaan kecil Siau ini di tulisannya. Mungkin karena Belanda pernah kesulitan hendak mencaploknya karena kerajaan ini dilindungi Spanyol yang berpusat di Manila (Filipina)
Tempat mukim raja atau istana Kerajaan Siau tercatat berpindah-pindah. Tahun 1510 saat didirikan oleh Raja Lokongbanua (1510-1549), kerajaan Siau dicatat berpusat di tempat yang bernama Kakuntungan. Tempat itu kemudian berganti nama menjadi ‘Paseng’ pada tahun 1516, karena di tempat itu misi Katolik Portugis singgah dan menyelenggarakan misa paskah yang bahkan turut juga dihadiri Raja Lokongbanua. Tempat bernama Paseng itu kini masih ada hingga kini di Barat Pulau Siau.
Meski misi Katolik sudah menggelar acara misa itu, namun tahun itu tidak dapat serta merta disebut agama Katolik telah dianut oleh kerajaan ini. Karena dalam catatan Portugis nanti pada tahun 1563 agama itu dianut oleh Raja Siau II, Posumah (1549-1587). Agama ini dibawa oleh paderi Diego de Magelhaes dari Kesultanan Ternate. Misi Katolik itu dalam catatan sejarah dikirimkan Portugis untuk mendahului kedatangan rombongan yang diutus Sultan Khairun dari Kerajaan Ternate untuk membawa siar Islam ke Sulawesi Utara. Rombongan ini bahkan langsung dipimpin Pangeran Baabullah. Raja Posumah tercatat dibaptis menjadi Katolik di sungai besar di Kota Manado merupakan raja kedua Siau dalam berbagai literatur Portugis dan Spanyol. Dia dikenal dengan nama baptis, Don Jeronimo atau Hieronimus.
Dari Passeng, pernah berkali istana raja pindah ke Pehe, Ondong dan di Ulu atau Hulu Siau.
Terhitung Raja Posumah memeluk agama Katolik kemudian pada zaman Raja Winsulangi kerajaan Siau layak disebut sebagai kerajaan Katolik. Berbagai catatan paderi menyebutkan bagaimana penyebaran misi Katolik difasilitasi dari Siau ke berbagai tempat di Sulawesi Utara dan Tengah. Kejayaan kerajaan ini disebut dicapai pada masa raja Batahi ((1639-1678) dan anaknya, Raja Ramenusa (1680-1715).
Tercatat sebelum masa VOC/Belanda pada tahun 1594 Raja Siau Ketiga Winsulangi (1591-1639) atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi mengikat perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia (Filipina) di Manila. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan di Pulau Siau yang sudah dirintis sejak Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi tentara Spanyol. Juga merupakan tempat mukim para paderi Spanyol, Portugis dan Italia. Nanti pada tahun 1677 Siau ditundukkan oleh Belanda dengan mempergunakan Sultan Ternate Kaitjil Sibori sebagai pelaksana. Tercatat sejak 9 November 1677 kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah yang tunduk pada kehendak VOC-Belanda sebagaimana perjanjian Lange Contract yang ditandatangani Raja Batahi. Di antara pasal penting yang ditandatangani adalah kerajaan Siau harus beralih agama ke Kristen Protestan Belanda.
Meski demikian, kerajaan ini menjalin hubungan persahabatan erat dengan kerajaan-kerajaan Islam, seperti kesultanan Ternate. Juga dengan Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kerajaan Bolangitan (Kaidipang) yang diislamkan Ternate. Setelah jatuh ke dalam rengkuhan Belanda tahun 1677 para pangeran dan puteri kerajaan Siau tetap melanjutkan tradisi kawin-mawin dengan pangeran dan puteri kerajaan-kerajaan tetangga. Termasuk kawin-mawin dengan kerajaan Bolaang Mongondow dan Bolangitang yang muslim.
Raja Jacob Ponto merupakan salah satu pangeran hasil perkawinan antar kerajaan itu di kerajaan Bolangitang. Ibu mereka adalah puteri asal Siau. Dia merupakan salah satu pangeran di kerajaan Kaidipang. Dia diangkat menjadi raja Siau ke – 14 oleh Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif yang dibentuk oleh Raja Winsulangi. Memang majelis kerajaan ini sulit menetapkan pengganti raja dari para bangsawan yang ada di Siau, karena itu sejak raja ke 11 hingga ke 14 diambil dari pangeran yang berdarah Siau yang berada di kerajaan tetangga. Jacob Ponto adalah raja Siau yang muslim.
Jacob Ponto tercatat memerintah selama 38 tahun. Pemerintahannya dihentikan Belanda karena dia membangkang mengibarkan bendera Merah-Putih-Biru di halaman istananya. Raja ini hanya mau mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah putih yang memang sejak lama sudah dipakai sebagai atribut kerajaan Siau, yaitu terhitung sejak zaman Raja Winsulangi. Pejabat Belanda yang dikirim untuk menggertak raja tidak berhasil membuat raja gentar. Raja juga tidak mau menaikkan pajak kepala di Siau, serta tidak mau mengganti agamanya sebagaimana isi perjanjian lange contract tahun 1677 antara VOC Belanda (Robertus Padtbrugge) dengan kerajaan Siau (Raja Franciscus Saverius Batahi).
Pada tahun 1889, Belanda dengan siasat seperti yang dilakukan pada Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 menipu juga raja Jacob Ponto. Wakil Residen Manado datang ke Siau dan memintanya naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat di kapal itu malah raja Jacob Ponto ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Tjirebon. Tak heran di kalangan masyarakat Siau raja ini terkenal dengan gelar ‘I tuang su Sirebong’ (Tuan Raja di Cirebon).
Keberanian Raja Jacob Ponto melawan Belanda menjadi inspirasi pergerakan kebangsaan Indonesia, secara khusus di Siau. Gerakan kebangsaan itu mendorong dibentuknya di Pulau Siau cabang Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno pada tahun 1928. Tokoh lokal sentral pembentukan itu adalah G.E. Dauhan. PNI Siau itu pantas disebut merupakan cabang PNI pertama di luar Jawa.
Makam raja Jacob Ponto kini sangat dihormati di desa Sangkanurib, Kuningan. Sekurangnya hingga tahun 1999, sebagaimana kesaksian masyarakat desa, acara renungan suci malam jelang hari kemerdekaan 17 Agustusan selalu dilakukan di makam itu. Juga upacara penaikan bendera merah putih. Maklum dalam beberapa buku pelajaran lama tokoh ini dihubungkan sebagai tokoh pembela merah-putih. Sayang sejak tahun 2000 kegiatan itu tidak lagi dilakukan. Kenyataan ini membuat seorang budayawan asal Cirebon meminta pemerintah Kabupaten Kuningan dan pemerintah Kabupaten Sitaro serta Kabupaten Bolaang Mongondow Utara agar berkomunikasi bagaimana baiknya memberi penghormatan sepantasnya bagi Raja Jacob Ponto itu.
posting: Lokong banua
Label:
Lokong Banua
Lokasi:
Sulawesi Utara, Indonesia
Kamis, 01 September 2011
NAMA RAJA-RAJA DI PULAU SIAU
Sebuah kerajaan ternyata pernah berjaya di Kabupaten Kepulauan Siau, Biaro, Tagulandang atau Kabupaten Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Meski jejaknya nyaris tak berbekas, namun sejumlah warga di Pulau Siau masih tetap bangga sebagai bangsawan atau keturunan para raja jaman dahulu.
Sebuah pusara atau makam di Kampung Paseng, Kecamatan Siau Barat menjadi Bukti .
Makam ini bukanlah tempat pembaringan terakhir keluarga kandungnya, tetapi diyakini sebagai pusara Raja Pertama Kerajaan Siau. kerajaan Siau pernah dipimpin secara beruntun oleh 21 raja yang diyakini sebagai nenek moyang masyarakat asli di Sitaro.
Makam ini berjarak hanya sekitar 10 meter dari jalan raya. Sebelum mencapai makam, pengunjung akan melewati gapura besar bertuliskan 'Makan Raja Lokombanua' dengan gambar mahkota berwarna keemasan.
Lokong Banua adalah nama pertama raja pertama di Siau. Semua warga asli Siau percaya Lokong Banua merupakan raja yang mampu menjaga keselamatan warga dari serangan orang asing dan telah membawa kemakmuran bagi daerah Pulau Siau dan sekitarnya termasuk Biaro dan Tagulandang.
Raja ini terkenal pintar dengan strategi perang. Layaknya seorang Raja Hayam Wuruk-yang memiliki panglima Gajah Mada, keberadaan Lokong Banua tak terlepas dari seorang panglima yang dikenal dengan nama Laksamana Hengkeng U Naung.
Laksamana Hengkeng U Naung pun makamnya tak jauh dari Rajanya yaitu di Kampung Kiawang Kacamatan Siau Barat Utara. Banyak kisah yang mereka torehkan dan menjadi cerita rakyat yang dipercayai masyarakat Siau sebagai sejarah asal-usul keberadaan mereka sampai saat ini.
masyarakat Siau mengatakan kuburan raja ini dilindungi masyarakat sehingga sekitar sampai saat ini masih utuh batu nisan dalam lokasinya yang sebenarnya. makam Laksamana Hengkeng U Naung seringkali dijadikan 'bahan mainan' sejumlah oknum tidak bertanggungjawab. "Pernah ada anak muda yang memotong tongkat yang diletakkan dikubur Laksamana Hengkeng U Naung. Kuburnya memang tidak dijaga dan berada di kawasan hutan. Waktu, dipotong kayunya patah tapi keesokan harinya tongkat itu utuh lagi seperti tidak terpotong dan sampai saat ini tidak ada lagi orang yang berani iseng dengan tongkat maupun kuburan itu,"
masyarakat Siau percaya ada 21 raja yang pernah memimpin Kerajaan Siau. Ada raja yang terpilih karena pertama kali menempati Pulau Siau dengan sebutan kulano, ada yang memenangkan perang, ada yang terpilih dari Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif yang dibentuk oleh Raja Winsulangi dan ada juga karena intervensi Belanda pada masa pra penjajahan abad ke-18 Masehi.
21 raja yang dipercayai pernah memimpin Siau sebagai sebuah kerajaan yaitu Raja Lokong Banua (Raja pertama yang menjabat tahun 1510-1549), Raja Pasumah ada juga yang menyebut Raja Posumah (Raja kedua menjabat tahun 1549-1587), Raja Wuisang (Raja ketigamenjabat tahun 1587-1591), Raja Winsulangi (Raja keempat menjabat tahun 1591-1631), Raja Batahi (Raja kelima menjabat tahun 1631-1678),
Raja Monasehiwu (Raja keenam menjabat tahun 1678-1680). Raja Raramenusa dengan nama lain Raja Hendrik Daniel Yacobus (Raja ketujuh menjabat tahun 1680-1716), Raja Lohintundali dengan nama lain Raja David Yacobus (Raja kedelapan menjabat tahun 1716-1752), Raja Ismael Yacobus (Raja kesembilan menjabat tahun 1752-1788), Raja Begandelu (Raja kesepuluh menjabat tahun 1788- 1790).
Raja Umboliwutang dengan nama lain Egenos Yacobus (Raja kesebelas menjabat tahun 1790-1821), Raja Paparang (Raja keduabelas menjabat tahun 1822-1838), Raja Nicolas Ponto (Raja ketigabelas menjabat tahun 1839-1850), Raja Jacob Ponto (Raja keempatbelas menjabat tahun 1850-1889) Raja Lamuel David, (Raja kelimabelas menjabat tahun 1890-1895), Raja Manalang Dulag Kansil (Raja keenambelas menjabat tahun 1895-1908), Raja AJ Mohede (Raja ketujuhbelas menjabat tahun 1608- 1913) Raja AJK Bogar, (Raja kedelapanbelas menjabat tahun 1913-1918) Raja Lodewyk Nicolas Kansil, (Raja kesembilanbelas menjabat tahun 1920-1929), Raja Aling Yanis (Raja keduapuluh menjabat tahun 1930-1935) dan Raja PF Parengkuan (Raja keduapuluh satu menjabat tahun 1936- 1945)
Sebuah pusara atau makam di Kampung Paseng, Kecamatan Siau Barat menjadi Bukti .
Makam ini bukanlah tempat pembaringan terakhir keluarga kandungnya, tetapi diyakini sebagai pusara Raja Pertama Kerajaan Siau. kerajaan Siau pernah dipimpin secara beruntun oleh 21 raja yang diyakini sebagai nenek moyang masyarakat asli di Sitaro.
Makam ini berjarak hanya sekitar 10 meter dari jalan raya. Sebelum mencapai makam, pengunjung akan melewati gapura besar bertuliskan 'Makan Raja Lokombanua' dengan gambar mahkota berwarna keemasan.
Lokong Banua adalah nama pertama raja pertama di Siau. Semua warga asli Siau percaya Lokong Banua merupakan raja yang mampu menjaga keselamatan warga dari serangan orang asing dan telah membawa kemakmuran bagi daerah Pulau Siau dan sekitarnya termasuk Biaro dan Tagulandang.
Raja ini terkenal pintar dengan strategi perang. Layaknya seorang Raja Hayam Wuruk-yang memiliki panglima Gajah Mada, keberadaan Lokong Banua tak terlepas dari seorang panglima yang dikenal dengan nama Laksamana Hengkeng U Naung.
Laksamana Hengkeng U Naung pun makamnya tak jauh dari Rajanya yaitu di Kampung Kiawang Kacamatan Siau Barat Utara. Banyak kisah yang mereka torehkan dan menjadi cerita rakyat yang dipercayai masyarakat Siau sebagai sejarah asal-usul keberadaan mereka sampai saat ini.
masyarakat Siau mengatakan kuburan raja ini dilindungi masyarakat sehingga sekitar sampai saat ini masih utuh batu nisan dalam lokasinya yang sebenarnya. makam Laksamana Hengkeng U Naung seringkali dijadikan 'bahan mainan' sejumlah oknum tidak bertanggungjawab. "Pernah ada anak muda yang memotong tongkat yang diletakkan dikubur Laksamana Hengkeng U Naung. Kuburnya memang tidak dijaga dan berada di kawasan hutan. Waktu, dipotong kayunya patah tapi keesokan harinya tongkat itu utuh lagi seperti tidak terpotong dan sampai saat ini tidak ada lagi orang yang berani iseng dengan tongkat maupun kuburan itu,"
masyarakat Siau percaya ada 21 raja yang pernah memimpin Kerajaan Siau. Ada raja yang terpilih karena pertama kali menempati Pulau Siau dengan sebutan kulano, ada yang memenangkan perang, ada yang terpilih dari Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif yang dibentuk oleh Raja Winsulangi dan ada juga karena intervensi Belanda pada masa pra penjajahan abad ke-18 Masehi.
21 raja yang dipercayai pernah memimpin Siau sebagai sebuah kerajaan yaitu Raja Lokong Banua (Raja pertama yang menjabat tahun 1510-1549), Raja Pasumah ada juga yang menyebut Raja Posumah (Raja kedua menjabat tahun 1549-1587), Raja Wuisang (Raja ketigamenjabat tahun 1587-1591), Raja Winsulangi (Raja keempat menjabat tahun 1591-1631), Raja Batahi (Raja kelima menjabat tahun 1631-1678),
Raja Monasehiwu (Raja keenam menjabat tahun 1678-1680). Raja Raramenusa dengan nama lain Raja Hendrik Daniel Yacobus (Raja ketujuh menjabat tahun 1680-1716), Raja Lohintundali dengan nama lain Raja David Yacobus (Raja kedelapan menjabat tahun 1716-1752), Raja Ismael Yacobus (Raja kesembilan menjabat tahun 1752-1788), Raja Begandelu (Raja kesepuluh menjabat tahun 1788- 1790).
Raja Umboliwutang dengan nama lain Egenos Yacobus (Raja kesebelas menjabat tahun 1790-1821), Raja Paparang (Raja keduabelas menjabat tahun 1822-1838), Raja Nicolas Ponto (Raja ketigabelas menjabat tahun 1839-1850), Raja Jacob Ponto (Raja keempatbelas menjabat tahun 1850-1889) Raja Lamuel David, (Raja kelimabelas menjabat tahun 1890-1895), Raja Manalang Dulag Kansil (Raja keenambelas menjabat tahun 1895-1908), Raja AJ Mohede (Raja ketujuhbelas menjabat tahun 1608- 1913) Raja AJK Bogar, (Raja kedelapanbelas menjabat tahun 1913-1918) Raja Lodewyk Nicolas Kansil, (Raja kesembilanbelas menjabat tahun 1920-1929), Raja Aling Yanis (Raja keduapuluh menjabat tahun 1930-1935) dan Raja PF Parengkuan (Raja keduapuluh satu menjabat tahun 1936- 1945)
Langganan:
Postingan (Atom)